Masa kecil Jokowi bukanlah orang yang berkecukupan, bukanlah orang kaya.
Ia anak tukang kayu, nama bapaknya Noto Mihardjo, hidupnya amat
prihatin, dia besar di sekitar Bantaran Sungai. Ia tau bagaimana menjadi
orang miskin dalam artian yang sebenarnya.
Bapaknya penjual
kayu di pinggir jalan, sering juga menggotong kayu gergajian. Ia sering
ke pasar, pasar tradisional dan berdagang apa saja waktu kecil. Ia
melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana pedagang dikejar-kejar
aparat, diusiri tanpa rasa kemanusiaan, pedagang ketakutan untuk
berdagang. Ia prihatin, ia merasa sedih kenapa kota tak ramah pada
manusia.
Sewaktu SD ia berdagang apa saja untuk dikumpulkan
biaya sekolah, ia mandiri sejak kecil tak ingin menyusahkan bapaknya
yang tukang kayu itu. Ia mengumpulkan uang receh demi receh dan ia
celengi di tabungan ayam yang terbuat dari gerabah. Kadang ia juga
mengojek payung, membantu ibu-ibu membawa belanjaan, ia jadi kuli
panggul. Sejak kecil ia tau bagaimana susahnya menjadi rakyat, tapi
disini ia menemukan sisi kegembiraannya.
Ia sekolah tidak
dengan sepeda, tapi jalan kaki. Ia sering melihat suasana kota, di umur
12 tahun dia belajar menggergaji kayu, tangannya pernah terluka saat
menggergaji, tapi ia senang dan ia gembira menjalani kehidupan itu,
baginya “Luwih becik rengeng-rengeng dodol dawet, tinimbang numpak mercy
mbrebes mili”. Keahliannya menggergaji kayu inilah yang kemudian
membawanya ingin memahami ilmu tentang kayu.
Lalu ia berangkat
ke Yogyakarta, ia diterima di Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah
Mada, jurusan kehutanan. Ia pelajari dengan tekun struktur kayu dan
bagaimana pemanfaatannya serta teknologinya. Di masa kuliah ia jalani
dengan amat prihatin, karena tak ada biaya hidup yang cukup. Kuliahnya
disambi dengan kerja sana sini untuk biaya makan, ia sampai lima kali
indekost karena tak mampu biaya kost dan mencari yang lebih murah.
Hidup dengan prihatin membawanya pada situasi disiplin, Jokowi mampu
menerjemahkan kehidupan prihatinnya lewat bahasa kemanusiaan, bahwa
dalam kondisi susah orang akan menghargai tindakan-tindakan manusiawi,
disinilah Jokowi belajar untuk rendah hati.
Setamat kuliah ia
tetap menjadi tukang gergaji kayu, tapi ia sudah memiliki wawasan, ia
melihat industri kayu berkembang pesat, ia mendalami mebel. Disini ia
pertaruhkan segalanya, rumah kecil satu-satunya bapaknya ia jaminkan ke
Bank. Dan ia berhasil, ia bukan saja tapi ia juga pengambil resiko yang
cerdas, ia berhasil dari sebuah bengkel mebel dengan gedek disamping
pasar yang kumuh berhasil dikembangkan. Ia menangis ketika
pekerja-pekerjanya bisa makan.
Suatu saat ia kedatangan orang
Jerman bernama Micl Romaknan, orang Jerman ini kebetulan tidak membawa
grader (ahli nilai) kayu, ia ngobrol dengan Jokowi, kata orang Jerman
itu : “Wah, di Jepara saya ketemu orang namanya Joko, baiklah kamu
kunamakan saja Djokowi, kan mirip Djokovich” akhirnya terciptalah sebuah
nickname Jokowi yang melegenda itu.
Perkembangan bisnisnya
bagus, ia dipercaya kerna ia jujur, orang Jerman suka dengan orang yang
jujur dan pekerja keras, Jokowi hanya tidur 3 jam sehari, selebihnya
adalah kerja. Ia tak pernah makan uang dari memeras atau pungli, ia
makan dari keringatnya sendiri. Dengan begitu hidupnya berkah. Jokowi
berhasil mengekspor mebel puluhan kontainer dan ia berjalan-jalan di
Eropa.
Tidak seperti kebanyakan orang Indonesia yang
mengunjungi Eropa dengan cara hura-hura atau foto sana, foto sini tanpa
memahami hakikat masyarakatnya. Jokowi di Eropa berpikir reflektif.
“Kenapa kota-kota di Eropa, kok sangat manusiawi, sangat tinggi
kualitasnya baik kualitas penghargaan terhadap ruang gerak masyarakat
sampai dengan kualitas terhadap lingkungan” lama ia merenung ini,
akhirnya ia menemukan jawabannya “Ruang Kota dibangun dengan Bahasa
Kemanusiaan, Bahasa Kerja dan Bahasa Kejujuran”. Tiga cara itulah yang
kemudian dikembangkan setelah ia menduduki jabatan di Solo.
Setelah sukses di bisnis, Jokowi berpikir “Bagaimana ia bisa berterima
kasih pada bangsanya” lalu ia mendapatkan jawabannya, bahwa contoh
terbaik untuk berterima kasih adalah menjadi pemimpin rakyat yang
bertanggung jawab. Lalu ia masuk ke dalam dunia politik dengan seluruh
rasa tanggung jawab. Pertanggung jawaban politiknya adalah
pertanggungjawaban moral bukan karena ia mencari hidup dalam dunia
politik, ia ikhlas dalam bekerja, baginya inilah cara berterima kasih
pada bangsanya.
Ia masuk ke dalam dunia politik, awalnya tidak
dipercaya, karena sosoknya lebih mirip tukang becak alun-alun kidul
tinimbang seorang gagah yang hebat, dalam masyarakat kita, sosok dengan
‘bleger’ yang besar lebih diambil hati ketimbang orang dengan sosok
kurus, ceking dan tak berwibawa itulah yang dialami Jokowi, tapi
beruntung bagi Jokowi, saat itu masyarakat Solo sedang bosan dengan
pemimpin lama yang itu itu saja, mereka mencoba sesuatu yang baru.
Akhirnya Jokowi menang tipis.
Masyarakat mempercayainya dan ia
menjawabnya dengan “Kerja” ia siang malam bekerja untuk kotanya, ia
datangi tanpa lelah rakyatnya, ia resmikan gapura-gapura pinggir jalan,
ia hadir pada selamatan-selamatan kecil, ia terus diundang bahkan untuk
meresmikan pos ronda sebuah RW sekalipun. Ia bekerja dari akarnya
sehingga ia mengerti anatomi masyarakat.
Suatu hari Jokowi
didatangi Kepala Satpol PP. Kepala Satpol itu meminta pistol karena ada
perintah pemberian senjata dari Mendagri. Jokowi meradang dan menggebrak
meja “Gila apa aku menembaki rakyatku sendiri, memukuli rakyatku
sendiri…keluar kamu…!!” kepala Satpol PP itupun dipecat dan diganti
dengan seorang perempuan, pesan Jokowi pada kepala Satpol PP perempuan
itu “Kerjalan dengan bahasa cinta, kerna itu yang diinginkan setiap
orang terhadap dirinya, cinta akan membawa pertanggungjawaban,
masyarakat akan disiplin sendiri jika ia sudah mengenal bagaimana ia
mencintai dirinya, lingkungan dan Tuhan. Dari hal-hal inilah Jokowi
membangun kota-nya, membangun Solo dengan bahasa cinta….”.
Apakah di Jakarta ia tak bakalan mampu? banyak yang nyinyir bahwa Solo
bukan Jakarta. Tapi apa kata Jokowi “Hidup adalah tantangan, jangan
dengarkan omongan orang, yang penting kerja, kerja dan kerja. Kerja akan
menghasilkan sesuatu, sementara omongan hanya menghasilkan alasan”
Jokowi berangkat dalam alam paling realistisnya. Kepemimpinan yang
realistis, bertanggungjawab dan kredibel. Beruntung Indonesia masih
memiliki Jokowi, pada Jokowi : “Merah Putih ada harapan berkibar kembali
dengan rasa hormat dan bermartabat sebagai bangsa.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar